DIGTALPOS.com – Kasus tambang emas ilegal di Kabupaten Kutai Barat semakin hari semakin mengkhawatirkan. Meskipun Pemerintah Daerah telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kutai Barat Nomor 23 Tahun 2013 tentang Reklamasi dan Pascatambang, yang mengatur izin usaha pertambangan (IUP) serta sanksi bagi pelanggar, aktivitas eksploitasi tanpa izin masih terus terjadi.
Keberadaan tambang ilegal di beberapa kecamatan, seperti Nyuatan, Muara Pahu, Muara Lawa, Damai, dan Long Iram, bukanlah fenomena baru. Aktivitas ini bermula pada 2008 ketika masyarakat mencoba menambang emas secara tradisional sebagai sumber pendapatan. Namun, seiring waktu, praktik ini berkembang menjadi eksploitasi besar-besaran yang merusak lingkungan, mengancam keselamatan warga, dan bahkan merambah ke wilayah hutan lindung serta lahan IUP resmi perusahaan tambang.
Dampak Sosial dan Ekologis: Ketika Alam dan Infrastruktur Dikorbankan
Maraknya tambang ilegal tidak hanya mengubah lanskap ekonomi masyarakat tetapi juga meninggalkan dampak yang mengkhawatirkan. Kerusakan ekosistem menjadi salah satu konsekuensi paling nyata, dengan deforestasi, pencemaran sungai, dan berkurangnya keanekaragaman hayati sebagai dampak utama.
Laporan Berulang, Tindakan Hukum yang Tak Kunjung Tegas
Aliansi Penyelamat Hutan Kutai Barat (APHKB) telah berulang kali melaporkan aktivitas tambang ilegal ini sejak 2021. Laporan telah diajukan ke Polres Kutai Barat, Mabes Polri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, hingga kini, belum ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum.
Ketidakpastian hukum ini membuat para penambang ilegal semakin berani beroperasi secara terang-terangan. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, pelaku tambang ilegal dapat dikenakan sanksi denda hingga Rp10 miliar. Sayangnya, lemahnya implementasi hukum membuat regulasi tersebut hanya menjadi aturan di atas kertas tanpa efek jera bagi para pelanggar.
Mengapa Penertiban Sulit Dilakukan?
Meski pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menindak tambang ilegal berdasarkan Perda Kabupaten Kutai Barat No. 23 Tahun 2013, realitas di lapangan menunjukkan bahwa penegakan aturan masih lemah.
Salah satu alasan utama adalah faktor sosial dan ekonomi. Banyak masyarakat menggantungkan hidup pada tambang ilegal karena kurangnya alternatif mata pencaharian lain. Dalam beberapa kasus, alasan kemanusiaan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk tidak melakukan tindakan tegas, meskipun jelas melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Selain itu, adanya indikasi keterlibatan oknum tertentu dalam praktik tambang ilegal juga membuat proses penertiban semakin sulit. Kurangnya transparansi dalam pengawasan tambang semakin memperparah situasi, membuat tambang ilegal terus berkembang tanpa kendali.
Penegakkan Regulasi dan Keterlibatan Masyarakat Sebagai Solusi
Meskipun tambang ilegal dapat memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek bagi segelintir individu, dampak jangka panjangnya lebih merugikan masyarakat luas. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik bersama malah dieksploitasi tanpa kendali, meninggalkan masyarakat tanpa alternatif ekonomi yang berkelanjutan.
Penegakan hukum yang lemah. Tanpa adanya sanksi yang tegas, para pelaku tambang ilegal merasa bebas beroperasi, sehingga masalah ini terus berlanjut. Hal ini menuntut perhatian lebih dari pemerintah dan pihak berwenang untuk memperkuat regulasi yang ada.
Keterlibatan masyarakat juga menjadi aspek yang tak kalah penting. Banyak orang terpaksa terlibat dalam aktivitas ilegal ini karena kurangnya pilihan ekonomi yang layak. Dalam konteks ini, program pemberdayaan ekonomi menjadi sangat krusial untuk memberikan alternatif yang lebih baik bagi masyarakat.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan solusi yang berkelanjutan dapat tercipta, menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Hanya dengan demikian, masa depan Kutai Barat dapat terjamin, sejalan dengan keinginan masyarakat untuk hidup dalam harmoni dengan alam. (*)
Penulis : Rossa Tri Rahmawati Bahri (Kader GMNI Samarinda dan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fisip Unmul)