Opini  

Kebebasan Pers dalam Bayang-Bayang Represi Aparat

Foto Aksi Aliansi Mahakam 1 September 2025, Sumber: Arsip Pribadi Penulis
Foto Aksi Aliansi Mahakam 1 September 2025, Sumber: Arsip Pribadi Penulis

Penulis: Alya Zahirah, Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman

Kebebasan pers kerap disebut sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi. Pers tidak hanya bertugas melaporkan berita, tetapi juga berperan sebagai mata dan telinga publik dalam mengawasi jalannya negara. Secara normatif, posisi pers sudah jelas: dilindungi konstitusi, dijamin Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, serta diakui sebagai bagian penting dari masyarakat sipil yang bebas dari intervensi negara. Namun, kenyataan di lapangan memperlihatkan betapa rapuhnya posisi jurnalis ketika berhadapan dengan aparat. Dalam beberapa bulan terakhir, kasus kekerasan terhadap pers kembali mencuat, menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia masih menghadapi tantangan serius.

Rentetan peristiwa yang menimpa jurnalis pada aksi 25–31 Agustus 2025 menjadi potret nyata bagaimana aparat masih kerap memandang pers sebagai gangguan, bukan mitra. Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengungkap berbagai bentuk kekerasan, mulai dari pemukulan, perampasan kamera, hingga intimidasi agar rekaman dihapus. Kekerasan fisik, perampasan alat kerja, dan ancaman verbal menjadi pola berulang setiap kali terjadi demonstrasi besar. Catatan AJI menyebutkan, sejak awal tahun hingga akhir Agustus 2025, terdapat sedikitnya 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Angka ini menunjukkan bahwa masalah yang terjadi bukan sekadar ulah oknum, melainkan gejala struktural yang mengkhawatirkan. Setiap kasus yang tercatat tidak hanya menjadi ancaman bagi jurnalis sebagai individu, tetapi juga pukulan telak terhadap hak publik untuk memperoleh informasi yang utuh.

Fenomena ini dapat dibaca melalui sejumlah kerangka teori. Antonio Gramsci, dalam teori hegemoninya, menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja melalui tindakan represif, tetapi juga lewat penguasaan wacana. Temuan terbaru Ruswandi (2025) dalam artikelnya The Failure of Local Press Freedom in The Era of Decentralization in Indonesia menunjukkan bagaimana kerja sama pemerintah daerah dengan media lokal justru berpotensi menekan independensi pers. Kekuasaan, dengan demikian, mengendalikan opini secara halus melalui narasi dan institusi sosial.

Sementara itu, teori demokrasi delegatif yang dikemukakan Guillermo O’Donnell turut menjelaskan lemahnya akuntabilitas di negara demokrasi prosedural seperti Indonesia. Laporan AJI bertajuk Indonesian Press Freedom Situation Report 2024 menegaskan bahwa meski kebebasan pers dijamin secara hukum, perlindungan jurnalis di lapangan masih minim, sehingga aparat sering bertindak sewenang-wenang.

Konsep ruang publik Jürgen Habermas juga memberi perspektif penting. Media, menurutnya, merupakan arena komunikasi antara negara dan masyarakat. Jika media direpresi, maka partisipasi masyarakat dalam diskursus demokratis ikut tereduksi. Penelitian Ari Rama (2024) dalam artikel Press Freedom in The Digital Era in Indonesia: A Human Rights Perspective menyoroti bahwa sensor digital, intimidasi daring, dan pembatasan akses informasi semakin mempersempit ruang publik di Indonesia.

Kontradiksi antara janji normatif kebebasan pers dan realitas represif aparat semakin tampak jelas ketika peristiwa Agustus 2025 dijadikan rujukan. Negara mendefinisikan dirinya sebagai demokrasi, namun praktik di lapangan justru menunjukkan sebaliknya. Kekerasan yang dialami jurnalis melemahkan fungsi media sebagai pengawas publik dan mempersempit ruang deliberatif yang seharusnya dijaga.

Represi aparat terhadap pers tidak hanya melanggar hak jurnalis, melainkan juga mengancam kualitas demokrasi. Kebebasan yang secara hukum dijamin ternyata sering terbelenggu praktik koersif. Jika tren ini terus dibiarkan, masyarakat sipil akan kehilangan salah satu instrumen utama untuk mengawasi kekuasaan negara. Perlindungan terhadap kebebasan pers karenanya perlu diperkuat, bukan hanya lewat regulasi, tetapi juga dengan perubahan kultur aparat dalam memperlakukan jurnalis di lapangan. Tanpa itu, demokrasi Indonesia berisiko berhenti pada tataran prosedural, tanpa substansi yang sesungguhnya. (*)