DIGTALPOS.com, Bontang – Wajah Kota Bontang hari ini tidak lahir begitu saja. Di balik setiap taman, jalan, dan gedung pemerintahan, tersimpan kisah panjang tentang perjuangan para tokoh yang membangun kota ini dari waktu ke waktu. Menyadari pentingnya menjaga memori kolektif itu, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Kota Bontang terus berupaya merekam dan melestarikan sejarah lokal melalui kegiatan Wawancara Sejarah Lisan.
Kepala DPK Bontang, Retno Febriariyanti, mengatakan kegiatan ini merupakan bagian dari tanggung jawab lembaganya dalam merawat ingatan sejarah pemerintahan Kota Bontang secara langsung dari sumber utamanya para pelaku sejarah dan tokoh masyarakat yang menyaksikan perubahan kota dari dekat.
“Kami ingin merekam perjalanan pemerintahan Kota Bontang dari masa ke masa. Informasi kami ambil langsung dari para tokoh masyarakat dan pemimpin yang terlibat dalam pembangunan kota,” ujar Retno belum lama ini.
Tahun ini, kegiatan wawancara mengusung tema “Wali Kota Bontang dari Masa ke Masa”, yang menyoroti kiprah tiga figur penting dalam sejarah kepemimpinan kota: Andi Sofyan Hasdam, Neni Moerniaeni, dan Basri Rase.
Melalui wawancara mendalam, DPK Bontang berupaya menggali lebih dari sekadar data atau kronologi melainkan juga nilai-nilai perjuangan, visi kepemimpinan, serta semangat pengabdian yang menginspirasi pembangunan Bontang hingga kini.
“Dari wawancara ini, banyak sekali inspirasi yang kami dapat. Para Wali Kota menceritakan proses, niat, dan perjuangan mereka membangun Bontang. Ini menjadi pelajaran berharga bagi generasi penerus,” tutur Retno.
Program Wawancara Sejarah Lisan ini bukan kegiatan baru. Sudah hampir tiga tahun DPK Bontang konsisten menjalankannya. Sebelumnya, mereka telah mewawancarai sejumlah tokoh penting seperti pembuat logo Kota Bontang sekaligus pencipta Mars Kota Bontang, dua simbol yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kota.

Wawancara-wawancara tersebut bukan sekadar dokumentasi, melainkan bentuk penghargaan terhadap jasa para tokoh yang telah mewarnai perjalanan Bontang sejak awal berdiri sebagai kota otonom.
Hasil wawancara kemudian disimpan dalam dua bentuk, yaitu video dokumentasi dan naskah transkrip di Lembaga Kearsipan Daerah (LKD). Menariknya, penulisan transkrip dilakukan dengan sangat teliti, mengikuti hasil rekaman asli hingga ke detail terkecil termasuk jeda bicara, gumaman, bahkan bunyi kecil yang terdengar selama proses wawancara.
“Untuk arsip, tulisan harus sesuai dengan rekaman. Kalau narasumber bilang ‘ee’ atau terdengar suara ‘kresek’, itu juga ditulis. Karena itu, saat wawancara berlangsung harus benar-benar senyap,” jelas Retno.
Retno menegaskan, kegiatan ini bukan hanya kegiatan dokumentasi semata, tetapi juga investasi sejarah jangka panjang bagi Bontang. Ia meyakini, suatu saat nanti, arsip wawancara ini akan menjadi sumber pengetahuan penting bagi generasi baru yang ingin memahami akar sejarah kotanya.
“Mungkin tidak sekarang, tapi lima, sepuluh, bahkan seratus tahun ke depan, generasi baru bisa tahu siapa para Wali Kota yang pernah memimpin, siapa yang membuat Mars, dan bagaimana Bontang berdiri. Ini adalah warisan sejarah yang sangat berharga,” pungkasnya.
Dengan semangat menjaga identitas kota, DPK Bontang membuktikan bahwa pelestarian sejarah tak hanya dilakukan lewat tugu dan monumen, tetapi juga lewat suara dan cerita manusia yang menjadi saksi perjalanan waktu. Melalui program Wawancara Sejarah Lisan ini, Bontang seolah berbicara kembali kepada anak cucunya—tentang perjuangan, cita-cita, dan cinta terhadap tanah kelahiran. (Adv)