DIGTALPOS.com – Sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kalimantan Timur menyampaikan sikap penolakan terhadap perampasan tanah dan pembongkaran paksa rumah warga demi obsesi Ibukota Negara.
Dalam rilisnya mereka menilai ancaman Badan Otorita IKN pada masyarakat lokal dan masyarakat adat di kawasan IKN telah terjadi, pada tanggal 4 Maret 2024.
Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara, mengeluarkan Surat Nomor: 179/DPP/OIKN/III/2024 perihal undangan arahan atas pelanggaran pembangunan yang tidak berijin dan atau tidak sesuai dengan Tata Ruang IKN.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan Tim Gabungan Penertiban Bangunan Tidak Berizin pada bulan Oktober 2023, sejumlah pemukiman warga Pemaluan tidak sesuai dengan Tata Ruang dan diagendakan adanya arahan tindak lanjut.
Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita Ibu Kota Nusantara, juga mengeluarkan “Surat Teguran Pertama” No. 019/ST I-Trantib-DPP/OIKN/III/2024, dalam jangka waktu 7 hari warga agar segera membongkar bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan Tata Ruang IKN dan peraturan perundang-undangan.
Menurut mereka, ancaman badan Otorita IKN tersebut yang secara tiba-tiba hendak mengusir warga Pemaluan dengan dalih pembangunan Ibukota, jelas adalah bentuk tindakan abusive pemerintah.
“Ini memperlihatkan wajah asli kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan. Mengingatkan kita dengan rezim otoritarian orde baru yang represif dan menghalakan segala cara,” tegasnya.
Sikap Otorita IKN memberikan batas waktu selama 7 hari agar warga Pemaluan segera angkat kaki dari tanah tempat mereka berpijak selama puluhan tahun. Merupakan bentuk intimidasi yang menyebar teror dan ketakutan kepada warga.
Bagi mereka hal ini sama persis yang dilakukan terhadap Wadas, Rempang, Poco Leok, Air Bangis, dan lainnya.
Upaya pembongkaran paksa dan paksaan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka. Merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat atas Hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan atas tanah dan hak atas pemukiman warga.
Pemaksaan pembongkaran bangunan dengan dalih tidak berizin terhadap tanah-tanah masyarakat yang telah dikuasai warga jauh sebelum rencana pembangunan IKN, merupakan bentuk menghadirkan lagi cara-cara penjajah Belanda menguasai tanah-tanah rakyat bangsa Indonesia melalui politik “Domein Verklaring” yang menyatakan “Barangsiapa yang tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah maka tanah menjadi tanah pemerintah.”
Politik penjajah ini diberlakukan sebagai dalih untuk merampas tanah-tanah rakyat. Ketentuan Domein Verklaring telah dihapuskan melalui Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Negara bukan sebagai pemilik tanah, namun mengemban tugas mengatur peruntukan sumber daya alam yang ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pemaksaan pembongkaran bangunan dan pengusiran masyarakat dengan dalih tidak berizin dan tidak sesuai tata ruang adalah cara-cara penjajah dalam merampas tanah rakyat. upaya paksa penyingkiran masyarakat adat dengan dalih pelanggaran atas Tata Ruang IKN merupakan bentuk Genosida Masyarakat Adat.
Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2022 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara, yang dijadikan dasar Pembongkaran paksa bangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat, merupakan produk hukum yang dibuat tanpa melibatkan masyarakat sebagai pemilik sah wilayah.
Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 65 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, yang mengamanahakan untuk melibatkan masyarakat dalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Tanpa pelibatan masyarakat lokal dan masyarakat adat, menyebabkan tata ruang tidak menjadi alat mensejahterakan masyarakat namun justru menjadi ancaman hilangnya hak-hak masyarakat.
“Pemerintah lupa, jika negara pada hakekatnya wajib bertindak atas nama kepentingan rakyat, bukan kepentingan para pemodal, apalagi sekedar obsesi pemindahan IKN,” tegasnya lagi.
Dalam putusan perkara Nomor 3/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi menegaskan terdapat 4 aspek yang digunakan sebagai tolak ukur dalam menguji makna penguasaan negara dan sebesar-besar kemakmuran rakyat, yakni : Pertama, kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat.
Kedua, tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat. Ketiga, tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam. Dan Keempat, penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Masih dalam rilisnya, Koalisi Akademisi dan Masyarakat Sipil menyatakan sikap menolak upaya-upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan masyarakat adat dari tanahnya dengan dalih apapun.
Masyarakat lokal dan Masyarakat Adat merupakan bagian kelompok rentan yang sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan bukan justru mengalami pembongkaran paksa dan upaya-upaya pemaksaan penggusuran atas nama pembangunan IKN.
“Menyatakan dokumen Tata Ruang yang dibentuk tanpa partisipasi sejati masyarakat lokal dan masyarakat adat adalah dokumen yang cacat hukum. Menolak pembangunan IKN yang mengusur hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat. Serta menyerukan kepada seluruh rakyat, untuk membangun solidaritas bersama,” pungkasnya.
Sekedar diketahui, sejumlah organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarat Sipil Kalimantan Timur, Jatam Kaltim, KIKA Kaltim, AJI Samarinda, LBH Samarinda, Aksi Kamisan Kaltim, SAKSI FH Unmul, PEMA Paser, POKJA 30, PuSHPA FHUNMUL, Pus-HAMMT UNMUL, TKPT, AMAN Kalimantan Timur, PUSDIKSI FH UNMUL, Nomaden Institute, Sambaliung Corber, Perempuan Mahardhika. (*)